Pengadilan Daniel, Oh…

Posted by penganyamkata on October 9, 2001 under Ulasan | Be the First to Comment

Resensi Selamat Datang di Pengadilan | #3

Surabaya Post, Bewara, Selasa, 9 Oktober 2001
oleh Frino Bariarcianur

Judul Buku: Selamat Datang di Pengadilan
Penulis: Daniel Mahendra
Penerbit: Malka
Cetakan: September 2001
Tebal: 107 + xvii halaman

Dalam sebuah cerpen jarang sekali pembaca bisa mengetahui kegiatan sehari-hari seorang penulis, tapi tidak untuk kumpulan cerpen satu ini yang dibuat oleh Daniel Mahendra. Dalam kumpulan cerpen Selamat Datang di Pengadilan kita dapat melihat secara jelas seperti apa kehidupan seorang penulis tersebut.

Daniel Mahendra, bujang kelahiran Maos, Jawa Tengah, dalam kumpulan cerpennya menceritakan beberapa pengalaman pribadinya yang memberikan perubahan pada dirinya. Malah ia sempat terguncang dari beberapa peristiwa itu.

Peristiwa-peristiwa yang membuatnya sedih dapat terlihat dalam cerpen yang berjudul Dia yang Telah Pergi. Di samping itu kita pun dapat merasakan kepedihan Daniel dalam cerpen Epitaph. Kedua cerpen tersebut merupakan bentuk kesedihan yang mendalam atas kepergian orang-orang terdekat Daniel.

Pertemuan dengan beberapa orang eks tapol seperti Kolonel Latif (dalam cerpen ia menggunakan nama Kolonel L., padahal ia menceritakan secara gamblang tentang Kolonel Latief, entahlah apa maksudnya) di Toko Buku Kalam Utan Kayu, Pramoedya Ananta Toer di rumahnya, Budiman Sudjatmiko di LP Cipinang, dari serangkaian tugas jurnalis yang ikut memberikan nuansa dalam penulisan cerpen Daniel.

Kehidupan lain penulis ini pun banyak menghabiskan waktunya untuk aktif dalam kegiatan pers mahasiswa disamping kuliah di Jurusan Jurnalistik Universitas Islam Bandung yang juga sangat memberikan pengaruh dalam setiap penulisan cerpen Daniel. Maka tak heran dalam setiap cerpennya ia tidak bisa lepas dari 5W + 1H: syarat menulis sebuah berita yang baik.

Bahasa tuturnya yang lugas dan mengalir mempermudah pembaca untuk menyelami isi dari cerpen-cerpen itu. Sehingga tidak perlu sampai berkerut-kerut untuk memahami cerpen Daniel. Kumpulan cerpen yang telah menjadi buku ini bisa dikatakan merupakan bentuk “orgasme”-nya yang tertahan selama ini.

Memang sudah menjadi semacam tradisi dalam lingkungan Daniel, kalau tidak menulis buku belum menjadi apa-apa. Atau bisa jadi merupakan ‘justifikasi’ (pengadilan) seorang Daniel dalam melihat sebuah persoalan. Walau ia tidak menulis tentang Selamat Datang di Pengadilan secara tersurat yang menjadi judul bukunya. Judul ini sendiri diambil dari lukisan yang dibuat oleh Iwan R. Ismael.

Cerpen-cerpennya –sayangnya- tidak begitu dalam membahas sebuah persoalan. Terlihat emosional dan ekspresif namun di sinilah kekuatan Daniel untuk mengajak pembacanya tercebur dalam dunianya.

Hasilnya memang seperti yang diungkapkan Rana Akbari Fitriawan, seorang cerpenis dan jurnalis ketika diminta komentarnya di sampul belakang buku ini: “Sebuah catatan kesaksian atas realita yang seringkali hanya mampu kita gerutukan dengan perasaan iri yang teramat sangat”. Sehingga pada akhirnya cocok untuk orang-orang yang suka menggerutu.

Gerutuan atau kesedihan Daniel ini bisa dilihat dari beberapa ending-nya seperti; air mataku banjir sudah dalam cerpen Epitaph, kemudian simak juga dalam cerpen Generasiku, Generasi Borjuis; Huh! Huh! Sekali lagi, huh! Betapa kacaunya negeri ini! Atau dalam cerpen Pacarku Seorang Asisten Dosen; Huh, Gender Sekali!

Daniel juga banya terpengaruh oleh Pramoedya Ananta Toer, sastrawan yang menjadi tapol karena terlibat dalam organisasi terlarang PKI. Pramoedya dalam menulis sebuah karya sastra kental dengan referensi sejarah yang telah diolah selama bertahun-tahun.

Begitu berartinya Pramoedya –yang kerap ditemuinya- ia juga menuliskan kalimat, duduk aku di sebelah seorang gadis manis berambut sebahu. Tersenyum ramah, dan …ah! Tak perlulah kuceritakan di sini. Iri nanti kalian mendengarnya (hal. 60). Bukankah kalimat ini hampir sama dengan yang pernah Pramoedya tulis dalam Tetralogi Buru?

Kesendirian Daniel memang sudah menggila. Dan ia menuntaskannya dengan penyajian yang dramatis, heroik, juga atas ketakmampuannya berbuat apa-apa dalam realitas yang ia hadapi. Ia vulgar dalam penyajian untuk mengatakan, “aku benar-benar kacau, sekacau dunia ini sekarang.”

Tak salah bila Septiawan dalam pengantarnya menyebutkan, sebuah kegilaan sendiri untuk menerbitkan kumpulan cerpen ini. Sindiran halus menyiratkan kegigihan Daniel untuk menerbitkan sebuah kumpulan cerpen sekaligus memberikan signal kewaspadaan untuk lebih mencari referensi ataupun cara pandang yang lebih kuat. Agar nantinya karya sastra tersebut tidak membunuh si pengarang.

Comments are closed.