Memetakan Perbukuan di Tanah Jawara

Posted by penganyamkata on October 12, 2005 under Kliping | Be the First to Comment

rumahdunia.net, 12 Oktober 2005

Aji Setiakarya

Beberepa pekan yang lalu, sepulang dari Jogjakarta saya singgah di Kota Bandung untuk mengunjungi seorang kawan; Heru Hikayat, perupa dan juga penulis asal Bandung. Selama dua hari saya berada di rumah Bang Heru. Saya berdiskusi kecil tentang buku, kepenulisan, komunitas baca, seni dan budaya Bandung. Berbicara tentang buku dan komunitas baca, akhirnya kami berbicara tentang toko-toko buku yang ada di Bandung. Jadilah Bang Heru bercerita mengenai toko buku alternatif yang telah menuai sukses dan diantaranya sudah saya kenal lewat media; Tobucil, Rumah Malka dan Ultimus.

Heru Hikayat menyuruh saya mengunjungi toko buku tersebut. Sebagai bahan perbandingan saya di Banten, katanya. Mendengar cerita dan anjuran bang Heru, saya sebagai “manajer” Kedai Buku Jawara*, tertarik. Saya ingin melihat pengelelolaan, pendisplayan, pelayanan sampai dengan pengunjung yang datang ke sana.

Maka esoknya, sebelum pulang ke Banten (21/8) saya meminta alamat Rumah Malka dan Ultimus. Selepas duhur saya berkunjung ke Rumah Malka di daerah Cikutra, tepatnya di samping STIE Pasundan. Saya tidak perlu pusing-pusing untuk mencari Rumah Malka. Letaknya di lalu lintas kota, memudahkan untuk menemukannya. Di Rumah Malka, selain ada toko buku juga ada perpustakaan yang menurut saya representatif, bersebelahan dengan toko buku. Masing-masing lini dijaga oleh orang yang berbeda. Menurut Daniel Mahendra, sang pemilik, selain sebagai tempat membaca dan peminjaman buku, juga untuk berdiskusi sebagai wadah mengembangkan suasana keintelektualan.

Ini menggembirakan!

Sebelumnya di Jogjakarta, saya menemukan toko buku semacam ini pula. Sebelahnya toko buku. Sebelahnya lagi perpustakaan, tempat membaca para pengunjung. Di Jogja ada beberapa toko buku yang saya kunjungi sebelumnya, seperti toko buku “Duniatera” yang berada di jantung Jogjakarta, tepatnya di Jl Suroto, Kota Baru. Selain itu saya juga mampir ke toko buku Mata Bangsa. Keduanya menyediakan ruang baca untuk para pengunjungnya. Meskipun dengan keterbatasan ruangan, tindakan ini mempunyai nilai lebih dari sekedar keuntungan material saja. Ada niat yang mulia dari penjual buku untuk mencerdaskan bangsa. Keputusan seperti ini sangat membantu masyarakat untuk lebih mendapatkan ruang publik yang lebih luas untuk mengasah intelektualnya. Tempat untuk bertukar pikiran, curah gagasan atau debat antara pembaca, sehingga melahirkan sebuah pemikiran atau ide-ide yang dapat menjadi kontribusi terhadap perubahan secara personal sebagai entitas masyarakat dan bangsa. Karena perubahan masyarakat berawal dari perubahan secara personal.

Bagi orang-orang yang materialisme dan berpikiran untung-rugi mungkin hal seperti ini sulit untuk diwujudkan. Karena yang ada di benak mereka adalah keuntungan material semata. Dengan menyediakan perpustakaan atau ruang membaca, berarti akan mengeluarkan cost lebih banyak lagi. Mereka tidak berpikir tentang pendidikan, pencerahana atau pun apa-apa tentang perubahan masyarakat. Yang ada di otak mereka laba dan laba. Tetapi bagi insan perbukuan yang mencintai buku, rasanya hal seperti ini adalah bagian dari pelepasan beban moral yang selalu mengikatnya setiap nafas.

Saat menyaksikan Rumah Malka, otak saya langsung terpancing. Di Rumah Dunia, saya dan kawan-kawan sudah melakukan semacam ini. Berjualan buku dengan menyediakan ruang baca, perpustakaan, berdiskusi, temu pengarang bahkan juga kegiatan-kegiatan pendidikan sampai aktivitas seni lainnya untuk meramaikan dan menumbuhkan minat baca.. Tetapi ada yang belum kami lakukan: Meminjamkan buku gratis kepada masyarakat Banten.

Keputusan ini memang bukan tanpa alasan. Minat baca dan aktivitas keintelektualan dan perbukuan di Banten masih memble. Artinya masyarakat Banten masih belum memiliki kesadaran untuk menggunakan buku sebagai sarana memperoleh semesta pengetahuan. Buku masih dipandang barang mahal yang hanya layak dimiliki oleh orang-orang berpendidikan, kelas menengah dan atas saja. Indikasinya gampang sekali. Di Banten, kecuali Tanggerang sampai saat ini baru satu agen buku yang berani membuka cabangnya, yaitu Toko Buku TISERA (PT. Tiga Serangkai), buka tahun 2004. Penerbit besar seperti Gramedia sampai saat ini, setelah lima tahun Banten menjadi provinsi belum berani membuka cabangnya di Banten. Kemudian, perpustakaan sebagai awal berkembangnya dunia pustaka masih terhitung oleh jari. Hanya perpustakaan milik pemerintah provinsi Banten, yang terletak di Jl Saleh Baimin Serang, yang memiliki koleksi buku lumayan lengkap, tapi dengan tempat yang cukup sempit dan tentunya sumpek.

Berbeda dengan Jogjakarta dan Bandung, misalnya yang sudah memiliki minat baca tinggi dan kesadaran bagaimana perlunya buku untuk transfer ilmu pengetahuan, diskusi-diskusi ilmiah sebagai kebiasaan intelektual bukan barang baru lagi di sana. Budaya mengkaji sudah menjadi bagian dari masyarakatnya. Di Yogyakarta, dunia penerbitan sebagai perangkat tumbuhnya minat baca sudah menjadi aktivitas yang digeluti oleh para pecinta pustaka sejak lama. Kita tentu mengenal penerbit Bentang, LKiS, Galang dan banyak penerbit-penerbit amatirnya.

Selain penerbitan, di Kota Pendidikan itu, perpustakaan, baik milik pemerintah ataupun yang dikelola swasta telah menjamur. Sebut saja Perpustkaan Daerah Istimewa Yogyakarta, yang memiliki dua unit. Unit 1 di Jalan Tentara dan unit 2 di depan Hotel Ina Garuda sekitar Malioboro, Perpustakaan Museum Budoyo, perpustakaan Barito Lorensa, perpustakaan UGM yang memiliki dua unit. Belum lagi perpustakaan-perpustkaan kecil lainnya. Di Bandung juga tak kalah hebat.

Yang seringkali menjadi banyak pertanyaan banyak orang adalah, mengapa Banten bisa tertinggal, padahal dekat Jakarta? Hanya menghabiskan waktu 90 menit. Tentang masalah ini di Bandung, saya pernah tersodok oleh seorang tua berusia 60-an. Sore hari, setelah dari Rumah Malka, karena penasaran dengan perkembangan perbukuan di Bandung, saya mengunjungi toko buku alternatif Ultimus, terletak di Lengkong Besar, tepat di depan kampus FISIP, Universitas Pasundan. Kebetulan sedang ada temu Penyair Jawa Barat-Bali di sini, jadi banyak pengunjung datang menyesaki ruangan ini. Banyak buku diskon waktu itu. Di antaranya buku-buku terbitan Kompas. Melihat harga yang sangat murah, saya langsung antusias dan memilih-milih buku, seperti berlomba-lomba dengan yang lain. Saya memborong hingga 13 judul buku, dengan menghabiskan 102 ribu rupiah. Tanpa saya sadari di samping saya ada yang mempehatikan tingkah-polah saya, yaitu seorang bapak tua berusia 60-an. Bapak tua itu bertanya tempat tinggal saya. Saya jawab, saya bukan orang Bandung. Saya orang Banten yang sedang berkunjung ke Bandung.

Bapak tua itu berkomentar lagi, “Bukannya Banten dekat dengan Jakarta?”

“Ya,” kata saya.

“Seharusnya lebih murah dong dari harga di sini,” bapak itu memajukan mulutnya.

Saya hanya diam.

Mungkin bapak itu tidak tahu kalau penerbit Jakarta nyaris tidak punya toko buku atau agen resmi di Banten.

Begitulah, katanya minat baca masyarakat Banten baru muncul. Baru titah-titah. Para penerbit enggan melebarkan pasarmya ke Banten karena pertimbangan bisnis tadi. Padahal jarak Banten-Jakarta lebih dekat daripada Bandung-Jakarta. Faktor ini juga yang seringkali menjadi pertimbangan kami untuk meminjamkan buku kepada masyarakat. Kami masih ragu meminjamkan buku kepada masyarakat. Karena seseorang yang belum memiliki minat baca yang kuat mana mungkin memiliki rasa kecintaan terhadap buku. Sehingga kemungkinan hilang atau rusaknya sangat besar sekali.

Sebetulnya Gola Gong, sebagai Ketua Umum Rumah Dunia sudah menyerahkan sepenuhnya kepada kami – para volunteer, untuk mengelolanya agar masyarakat yang tidak bisa membeli buku bisa terbantu dengan kapasitas buku yang ada di Rumah Dunia. Tetapi sampai sekarang kami masih terus menimbang-nimbangnya; belum berani meminjamkan buku kepada masyarakat.

GRAMEDIA BOOK FAIR SEBAGAI CERMIN

Buku adalah anak rohani umat manusia. Tanpa buku tak ada nyanyian kebebasan. Tanpa buku tak ada nyanyian kemanusiaan. Tanpa buku tak ada nyanyian peradaban manusia, begitulah kata Fajrul Rahman. Bagi Franz Magne Suseno, buku adalah surga, karena membaca buku bukan hanya memperluas cakrawala, melainkan juga melepaskan emosional dan membantu mengatasi kesulitan-kesulitan. Membaca bagi Franz adalah melihat dunia, manusia, menghadapi tantangan, terangsang dan fantasi, serta menumbuhkan semangat untuk melakukan sesuatu. Ya, begitu hebatnya pengaruh buku bagi kehidupan. Hampir semua perubahan berawal dari buku. Dengan buku kita dapat membaca pikiran-pikiran para ilmuwan yang telah teruji oleh khalayak publik. Dengan buku kita dapat mengetahui sejarah peradaban dunia. Sudah banyak tesis juga fakta yang menguatkan hal ini. Jangan jauh-jauh kita mengambil sampel, kita bisa belajar dari Malaysia. Berkat perhatiannya yang luar biasa terhadap buku dan pendidikan, negara tersebut telah menjadi negara yang diperhitungkan oleh dunia internasional. Maka itu, membaca buku adalah kewajiban bagi siapa saja yang menginginu suatu perubahan. Kalau boleh saya mengatakannya, membaca buku adalah harga mati bagi kemajuan. Tak bisa ditawar-tawar lagi.

Seseorang akan berminat pada buku bila dilingkungannya memiliki buku. Membiasakan diri untuk mempunyai minat baca yang tinggi memang bukan tanpa halangan. Apalagi ditengah miskinnya perhatian pemerintah dalam merespon perkembangan perbukuan dewasa ini. Belum lagi kemajuan teknologi yang memungkinkan adanya pembelajaran visual lebih disukai oleh banyak orang membuat minat membaca semakin suram.

Tetapi meskipun demikian, kita tidak boleh menyerah lalu berdiam diri tanpa mengambil tindakan. Kita harus terus mencari formula dan trik. Usaha untuk mendemamkan minat membaca tak boleh berhenti. Maka, tanggal 6-11 September yang lalu kami mengadakan Pameran buku Gramedia.

Gramedia Book Fair yang kami temai Menuju Banten Membaca, Kreatif dan Kritis ini sebetulnya telah kami rencanakan sejak April lalu. Tetapi pihak Gramedia lambat dalam meresponnya. Saya memaklumi hal tersebut, karena sebelumnya Gramedia belum pernah berpameran di Banten. Mereka sangat hati-hati dalam mengambil keputusan. Apalagi kemasan yang kami tawarkan berkapasitas besar. Saya ingat sewaktu awal-awal Kepala Wilayah Pemasaran, Lucas Noor datang ke Rumah Dunia untuk membicarakan proposal yang kami buat.

Draft awal yang kami ajukan untuk mengadakan pameran yang besar tidak ia sanggupi. “Test case saja, karena ini pertama kali,” kata Lucas waktu itu. Bahkan, untuk menekan biaya oeprasional Gramedia memilih Rumah Dunia untuk tempat pameran. Padahal sebelumnya kami telah menawari Pak Lucas ke Gedung Wanita, Sport Hall, Gedung Golkar, yang terletak di pusat Kota Serang. Tetapi Pak Lucas bersikukuh memilih Rumah Dunia karena untuk menghemat dana.

Awalnya kami ragu dengan keputusan ini. Letak Rumah Dunia yang jauh dari tranportasi, keadaan jalannya yang hancur adalah hal yang terus mengintai kami. Kami pernah berujar, bahwa orang yang datang ke sini berarti mereka orang-orang pilihan, yang benar-benar mencintai buku.

Tetapi, ternyata hasilnya diluar dugaan. Kami memperoleh Rp. 40.500.000,-, melebihi omset yang kami targetkan untuk menandingi Indramayu yang sering dijadikan sampel oleh Guntoro, Marketing Gramedia wilayah Jakarta dan Banten. Selama tenggat waktu enam hari itu kami merasakan ada antusiasme masyarakat, ada atmosphere untuk membangun kultur membaca. Itu memompa semangat kami. Kami semakin yakin bahwa minat baca masyarakat Banten sudah berubah. Kultur membaca mereka sudah meningkat. Prasangka bahwa Banten hanya sebuah provinsi yang hobi korupsi harus segera diubah. Label korupsi hanya tepat dituduhkan kepada para pejabatnya saja. Masyarakat Banten kini sudah mulai membaca. Kami semakin berani menyebut, masyarakat Banten sedang menanjak kepada taraf reading habbit.

Gramedia Book Fair yang di dalamnya kami isi dengan diskusi kebudayaan, seni, temu pengarang bersama Esti Kinasih pengarang “Fairish” dan Dian Nuranindya pengarang “Dealova” menjadi cermin bagi kami untuk berani meminjamkan buku kepada masyarakat. Meskipun tidak, paling tidak kami pernah memetakan dan meramaikan dunia pustaka di Banten, yang terkenal dengan sebutan jawara-nya itu. Semoga ini terus berlanjut. Semoga saja.

* * *

* Aji Setiakarya, Manajer Kedai Buku Jawara, Rumah Dunia, Kampung Ciloang, Serang – Banten. Juga mahasiswa FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

Comments are closed.