Menyusuri Jalan Epitaph

Posted by penganyamkata on August 11, 2010 under Ulasan | Be the First to Comment

Resensi Novel Epitaph | #6

Oleh Lisa Febriyanti

Aku yakin, sahabatku, Daniel Mahendra (DM) memberikan permakluman karena aku sedikit terlambat menuntaskan anak ruhaninya, EPITAPH, hingga pada kata tamat. Di saat ratusan bahkan mungkin sudah ribuan orang saat catatan ini kubuat telah menikmati dan mengambil sari patinya, aku baru menyelesaikannya dini hari tadi, sekira pukul empat. Aku ingat pesan DM saat kami melakukan serah terima novel masing-masing, “Jika kau punya waktu, bacalah Epitaph.” Yeah..EPITAPH sudah memanggil waktunya sendiri.

Ini menjadi kisah unik karena EPITAPH dan ILUMINASI sebenarnya lahir di hari yang sama. Kami banyak melakukan proses pengerjaan bersama, diskusi tentang kemasan, hingga promosinya. Tetapi, tak ada satu kata pun kami saling bertukar yang berkaitan dengan isi. Kami berpeluh dan merenung dalam dunia kami sendiri ketika menuntaskan isinya. Dua novel yang diselesaikan nyaris dalam waktu bersamaan, tetapi tak mengenal satu sama lain, bahkan isinya pun berseberangan.

Ketika ILUMINASI berbicara tentang kehidupan, EPITAPH (kabarnya) berbicara tentang kematian. Dua kontradiksi yang menurut penerbit sengaja dironce bareng pada banyak aktivitas promosinya. Tak pelak, ILUMINASI dan EPITAPH kerap dibarengkan pada berbagai rangkaian promosi.

EPITAPH, tulisan di batu nisan, bercerita tentang setumpuk catatan dari kacamata seorang perempuan bernama Laras Sarasvati yang direnggut hilang ketika helikopter militer yang ditumpanginya dinyatakan raib di Gunung Sibayak, saat pengambilan gambar untuk kepentingan pembuatan film dokumenter. Ketika ia hilang, catatan tidak berhenti, justru menjadi semakin menampilkan lika-liku yang membuat tak bisa berhenti membacanya, ketika Haikal, kekasih Laras, meneruskan catatan itu dari pandangannya.

Haikal dengan hati remuk redam kehilangan kekasih, berupaya keras membongkar dan tanpa lelah mencari tahu keberadaan Laras. Proses pencarian menjadi mencekam dan menarik karena pihak militer yang menyewakan helikopter, sama sekali tak mengakui bahwa ada tiga kru film (termasuk Laras) dalam helikopter itu. Di bagian inilah, aku tak lagi bisa membedakan mana yang fakta dan mana yang fiksi. DM begitu detail dan runut memberikan data waktu, tempat, juga catatan-catatan pendukung lainnya. Menjalinnya dalam bentuk pilinan artikel jurnalistik dan ramuan sastra yang memikat. Sangat bisa dipahami, pengalaman DM di dunia jurnalistik menjadi penopang ketika meramu kisah yang begitu nampak realis ini.

Aku nampaknya memilih tempat yang salah ketika membaca bab-bab awal EPITAPH. Saat itu, aku sedang ada dalam cabin pesawat, melintasi langit Surabaya menuju Jakarta. Gambaran DM tentang kecelakaan helikopter yang dialami Laras langsung mencekat tenggorokanku, membuatku sadar, aku ada di ambang yang sama dengan Laras, apapun bisa terjadi di sini. Pilihan kata DM yang begitu sederhana tetapi merasuk membuat aku gamang dalam kabin untuk beberapa saat. Rasanya ini bisa jadi peringatan buat lainnya. Awas, janganlah membaca EPITAPH saat di udara.

Meski judulnya EPITAPH, aku tak lagi menganggap novel ini melulu bicara tentang kematian. Ini adalah sebuah catatan tentang kehidupan dan kemanusiaan. DM menyajikan sebuah alunan hidup seseorang bernama Laras Sarasvati, hanya seorang perempuan muda yang memiliki cita-cita tinggi. Bagi makrokosmos, Laras Sarasvati adalah satu butir debu, tetapi ia dalam mikrokosmos adalah seorang manusia yang meninggalkan jejak bagi banyak hati. Dan tiap manusia adalah catatan penting bagi sejarah semesta. Di sinilah nilai kemanusiaan dipertaruhkan. Pesan ini yang dipertanyakan oleh DM dalam EPITAPH.

Anak ruhani DM ini mengalun sangat pelan di bagian awal, bahkan DM berani mengulang satu peritiwa yang sama dari sisi dua orang yang berbeda. Kejadian sapa pertama Laras dan Haikal. Entah apa yang mendasari DM memilih adegan ini yang diulang, tetapi menurutku, DM punya keberanian melakukan ini dengan risiko pembaca akan begitu saja melewatkan halaman-halaman pengulangannya karena merasa sudah pernah membacanya. Tetapi keberanian itu terbalas dengan petikan aroma baru, sehingga begitu sayang jika dilewatkan. Membaca Laras, berbeda ketika membaca Haikal.

Tetapi di bab-bab akhir, kejadian dan fakta demi fakta yang mulai terungkap dengan begitu cepat. Aku pun terpacu menyusur lembar demi lembar, menuntaskannya. Meskipun beberapa kali aku dengar DM secara lisan menyampaikan uraian isi novelnya, tapi membacanya tak menjadikan kisah ini jadi usang. Tetap ada pengalaman baru saat menyusurinya.

EPITAPH bagiku menampilkan banyak rasa. Aku tersenyum-senyum pada langgam Laras. Terutama ketika ia begitu bersorak saat tak lulus UMPTN. Aku tahu Laras adalah pribadi yang berbeda. Sorakan ini mempertegas bahwa Laras adalah satu kerlip bintang dengan warnanya tersendiri. Lalu kisah-kisahnya bersama Haikal membuatku terhanyut. Dan tak nyana, aku meneteskan air mata ketika jenazah Laras pulang ke rumahnya di Bandung. Aku sudah menahan rebak ketika jenazah datang di airport dan tak kuat lagi ketika ibu meraung histeris.

Telah kususuri jalan EPITAPH dan berterima kasih pada penulisnya telah membawaku ke area realistis yang amat jauh dari karyaku sendiri yang bernapaskan surealis. Terima kasih sahabat, aku belajar satu hal lagi darimu.

Malam ini, adalah malam bagi EPITAPH. Bersamaan dengan usianya ke 40 hari, penerbit dan Newseum menggelar sebuah acara yang dikatakan sebagai akikah. Di sana, aku akan membacakan nukilan novel diiringi biola Da’an Danang Setiawan, pemusik yang menyatakan biolanya selalu bernada minor dan menyiratkan kesedihan dalam gesekannya. Izinkan aku turut mengundang kawan semua untuk hadir di sana, bersama menyusuri EPITAPH dan berbincang langsung dengan penulisnya. Sampai jumpa di Newseum, Jl. Veteran, Jakarta Pusat, pukul 19.00 nanti.
_______________

* Penulis novel “Iluminasi“, tinggal di Tangerang.

Comments are closed.