Kumpulan Kisah dalam Sebuah Epitaph

Posted by penganyamkata on November 25, 2010 under Ulasan | Be the First to Comment

Resensi Novel Epitaph | #23

Oleh Novian Anggis Suwastika

Cukup lama saya puasa membaca novel, terutama novel dalam negeri. Hari ini lapar dan dahaga akan sebuah tuturan kisah dalam susunan kalimat sebuah novel saya akhiri. Ya, berakhir sudah puasa saya oleh sebuah novel setebal 358 halaman karya Mas Daniel Mahendra dalam naungan judul “Epitaph”.

Sempat kabur dan bingung. Epitaph? Sungguh-sungguh ini kosakata baru buat saya, dan sengaja saya pendam rasa ingin tahu saya untuk mencari arti dari kata tersebut. Saya ingin tahu arti kata tersebut setelah saya menamatkan novel tersebut. Dan informasi tambahan (walaupun nggak penting :p), sebenarnya “juga”, ini bukan novel yang saya beli sendiri, melainkan punya teman yang tergeletak nganggur, yang berhasil dengan segera saya tamatkan.

Begitu judul begitu pula nama pengarangnya. Daniel Mahendra masih terasa asing di telinga saya. Dari rujukan sang pemilik buku, saya sempatkan untuk mengorek-ngorek informasi tentang beliau dari blog-blognya (di penganyamkata.net dan danielmahendra.com), termasuk juga reviewbukunya. Dan saya langsung jatuh cinta dengan gaya bahasa Mas Daniel Mahendra, jujur, mudah dan mengalir tapi tak kehilangan sentuhan jurnalistik dan puitisnya. Great, dorongan untuk membaca buku pertama dari trilogi beliau yaitu triple E (Epitaph, Epilog dan Epigraph), semakin menggelora.

Kekhasan bahasa Mas DM (sapaan Mas Daniel Mahendra hehe) begitu terasa di buku ini, memang sedikit mirip dengan gaya tulisan Bapak Pramoedya Ananta Toer. Dengan sederhana, Mas DM menguraikan kisah, kejadian, personal seseorang, tempat dengan begitu jelas walaupun tidak melulu mendetail. Saya seolah disuguhkan sebuah gambaran imanjinasi yang begitu gamblang dan indah. Saya belum pernah ke Medan, Jember, Probolinggo atau beberapa tempat di Sumatera Utara, tapi gambaran tentang suasana tempat-tempat tersebut seolah-olah nyata, dekat dan tak asing bagi saya.

Beranjak ke kisah-kisah cerpen yang di urai satu-satu dalam buku tersebut yang kemudian dirangkai dalam sebuah kisah utama yaitu kisah antara Laras dan Haikal, Mas DM menyuguhkan sebuah kisah yang berbeda, tapi secara ketika (seketika) mampu kembali ke kisah utama yang tetap bisa saya ikuti. Ceritanya begitu mengalir, membuai saya untuk terus menikmatinya, walaupun di setiap mendekati titik klimak, Mas DM membuat ini menjadi “Ah nanggung, nggak sampai klimaknya”. Tapi begitulah kelebihan dari buku ini menurut saya. Mas DM membuat “kisah seribu satu buku” versi Indonesia dalam Epitaph ini.

Kemampuan Mas DM untuk menggali sudut pandang yang berbeda menjadi misteri membuat buku ini semakin menarik dan unik. Awal cerita mengambil sudut cerita Laras begitu lancar dan memikat, bahkan sempat saya mengira, Laras menjadi tonggak cerita ini. Tapi ketika menginjak akhir bab 5, saya mulai bimbang. Ada pertanyaan-pertanyaan yang menjadi misteri bagi saya, walaupun pada akhirnya saya tak perlu sebuah jawaban untuk misteri itu. Sayang ketika Haikal masuk menjadi sang “pendongeng”, saya masih belum menemukan “sesuatu” yang berbeda antara sosok Laras dan Haikal, tapi itu tak mengurangi saya untuk menikmati novel ini.

Pada sebuah kesimpulan saya sempat berpikir, “Ini sebuah kejadian nyata kah?”. Mas DM benar-benar meng-kloning sebuah artikel nyata dalam sebuah media masa ke dalam novelnya. Begitu detail sekali Mas DM menjelaskan tentang TNI AD dan segala macam perlengkapannya, tentang pengetahuan perfilm-an, sosok bapak Birhi Lantang, dan masih banyak informasi lain yang membuat saya bingung memilah antara tokoh fiksi atau tokoh nyata.

Entah apa yang harus saya komentari lagi, secara “isi” saya begitu puas mengakhiri puasa baca novel saya dengan sebuah novel yang begitu mengalir, indah, dan menginspirasi. Hmm, untuk endingnya bukan hal yang begitu penting lagi buat saya. Mas DM membuat setiap lembar dari novel ini begitu menarik tanpa harus menunggu sebuah ending untuk mencapai puncak keindahannya.

Sedikit yang saya sayangkan dari buku ini tak laen dari “fisik” buku ini. Ide cover menarik tapi entah kenapa perpaduan warna “gelap” dan warna hijau serta sinopsis “kuning” di cover depan bukan kombinasi yang bagus menurut saya. Dan juga kesalahan pengetikan di beberapa halaman yang sempat membuat saya bingung, seperti judul bab 7 yaitu “April 1994?. Saya sempat menerka-reka apakah sebuah flashback akan mengisi cerita pada halaman itu, ketika saya merasa alur ini sudah pada jalurnya. Walaupun keraguan saya tidak berasalan ketika lanjut menikmati ceritanya, ternyata sebuah kesalahan dalam menulis judul bab-nya.

Itu yang kira-kira bisa saya uraikan tentang buku ini. Akan lebih nikmat jika anda membaca dan menikmati buku ini sendiri. Anda akan menemukan banyak hal yang mungkin jauh berbeda dari yang saya sampaikan di atas. Untuk buku ini, saya rekomendasikan untuk dibaca, karena tergolong “ringan” tapi indah dan menarik. Dan jawaban arti kata Epitaph menjadi sebuah nilai lain tambahan bagi saya, karena berhasil saya dapatkan di sepanjang cerita dan di ending buku ini.

Well, terima kasih Mas Dimaz Arno P atas kesempatan buat saya “nyolong” buku ini. Saya tak sabar untuk menunggu cerita selanjutnya di buku ke-2 dari Triple E-nya Mas DM.

________________

Tulisan ini dimuat di sini tak lain sekadar usaha pendokumentasian. Versi asli dari ulasan ini di-posting di blog tinta aer [19 Maret 2010].

Comments are closed.