Menikmati “Perjalanan ke Atap Dunia” dengan Daniel Mahendra

Posted by penganyamkata on April 25, 2012 under Ulasan | Be the First to Comment

Resensi Perjalanan ke Atap Dunia | #8

Oleh Gie Wahyudi

“Perkenalan” pertama saya pada seorang Daniel Mahendra sebenarnya sudah terjadi beberapa tahun lalu. Ketika harus belajar menjadi seorang editor untuk majalah kampus, saya “berkenalan” dengan seorang Penganyam Kata, nama pena editor yang sangat mengagumi Pramoedya Ananta Toer ini. Meskipun hanya berkenalan melalui tulisan-tulisannya tentang “bagaimana menjadi editor yang baik”, saya sangat berterima kasih karena selalu diingatkan untuk menganyam kata serapi dan seindah mungkin. Meskipun awalnya saya pikir perkenalan kami hanya sampai di situ saja.

Tahun berganti tahun dan saya pun nyaris lupa siapa itu Daniel Mahendra. #maaf Hingga suatu waktu ada nama @penganyamkata di timeline Twitter saya, tepatnya dari tweet @suryaden. Saya baca namanya “Daniel Mahendra” dan tanpa ragu saya langsung follow @penganyamkata. Mulai dari mention-mention-an, saya pun mulai membaca blog Penganyamkata yang selalu menyajikan tulisan-tulisan panjang dan enak dibaca namun selalu membuat saya “berpikir lama” setelah membacanya. Tulisan ringan yang memberi saya banyak pengertian tanpa banyak menggurui, itu yang menarik.

Menurut saya, tulisan Daniel Mahendra ringan namun selalu ada hal-hal kecil bermakna yang kerap tak terperhatikan oleh saya. Tahun lalu, Daniel Mahendra berpetualang sendirian menyusuri negeri Cina, Tibet, dan Nepal. Daniel Mahendra menuliskan kisah perjalanannya itu di blognya sehingga saya seolah bisa ikut dalam perjalanan itu. Meskipun begitu, tulisan Daniel Mahendra tetap panjang, enak dibaca, dan selalu ada kisah-kisah kecil bermakna. Dalam perjalanan solo backpacker itu, saya bisa membayangkan betapa kerasnya usaha Daniel Mahendra untuk menuliskan itu semua.

Namun suatu ketika tulisan-tulisan terbaru di blog Penganyamkata tak juga muncul. Begitu juga dengan timeline @penganyamkata yang tak pernah ada tweet baru yang hadir. Saya sudah cukup lama dibuat penasaran sampai di mana petualangan Si Penganyam Kata ini. Suatu ketika gambar profil Facebook Daniel Mahendra berubah menjadi gambar sebuah buku berjudul “Perjalanan ke Atap Dunia”. Itu kan terjemahan dari “Journey to the Rooftop of the World” yang selama ini menjadi tagline(?) blognya. Saya harus langsung memesan buku baru Daniel Mahendra itu, pikir saya waktu itu.

Meskipun baru mau naik cetak, saya langsung memesan buku “Perjalanan ke Atap Dunia”. “Siap, Pakdhe. Tak catet yo.. Nanti begitu buku sudah siap, langsung tak kabari. Suwun.”, begitu balasan dari Daniel Mahendra. Kebetulan awal bulan ini saya liburan ke Bandung, jadi saya tak melewatkan kesempatan untuk kopi darat dengan penulis yang sudah menerbitkan 21 buku ini. Ternyata saya datang dalam waktu yang kurang tepat karena lebih cepat seminggu dari launching buku “Perjalanan ke Atap Dunia”. Tepat setahun setelah dimulainya perjalanan ke tiga negara itu, 14 April 2012 buku “Perjalanan ke Atap Dunia” di-launching di Waroeng Itempoetih (sekarang berganti nama menjadi Warung Sitinggil).

Di tengah kesibukan persiapan launching buku “Perjalanan ke Atap Dunia” itu, Daniel Mahendra masih menyempatkan untuk menemui saya dan istri di Museum Konperensi Asia-Afrika. Saya dan istri merasa senang bisa bertemu dengan travel writer, apalagi ketika Daniel Mahendra menceritakan langsung kisah-kisah uniknya selamat menyusuri tiga negara itu. Bukan hanya kami yang senang bertemu dengan Daniel Mahendra, saya yakin dedek bayi juga nendang-nendangpengen ikut jalan-jalan bareng Om Daniel.

Tak berapa lama setelah launching, kiriman buku “Perjalanan ke Atap Dunia” sudah sampai di kantor saya. Sepulang dari kantor, istri saya langsung membaca buku Adun (singkatan dari Atap Dunia) dengan seksama. Istri saya sebenarnya jarang bisa menyelesaikan membaca satu buku, namun kali ini tidak. Kali ini istri saya membaca dengan seksama halaman demi halaman. Sesekali istri saya membaca sambil tertawa, misalnya ketika ada orang Nepal tiba-tiba berkata “Aku iso ngomong Jowo” kepada Daniel Mahendra atau ketika melihat potret sebuah hotel yang bernama “Hotel Panas”. Saya pun ikut tertawa riang dibuatnya.

Kisah-kisah jenaka memang kadang menghiasi perjalanan, namun tak jarang juga membuat istri saya tampak serius membaca. Misalnya, ketika Daniel Mahendra berpikir bahwa para monk di Tibet yang sedang beribadah seharusnya tidak dijadikan tontonan oleh para turis. Atau ketika Daniel Mahendra menemui orang Cina yang HAAKK JUUUHH HAAKKK JUUUHHH! di sembarang tempat, mulai dari stasiun sampai bandara. Namun perjalanan Daniel Mahendra bukannya tanpa kisah romansa. Di tepian Danau Phewa, Daniel Mahendra berkenalan dengan seorang traveler asal Perancis bernama Jeanette.

Daniel Mahendra menulis setiap kisah perjalanannya dengan apik. Mungkin banyak orang bisa menjadi seorang pelancong namun tak banyak yang bisa mengisahkannya. Seorang traveler tentu bukan hanya menceritakan sampai di mana dengan uang seberapa.

_________________________

* Blogger. Bekerja dan tinggal di Jakarta.

Tulisan ini dimuat di sini tak lain sekadar usaha pendokumentasian. Versi asli dari tulisan ini ada digiewahyudi.com [April 2012].

Comments are closed.