Perjalanan ke Atap Dunia [13]

Posted by penganyamkata on June 12, 2013 under Ulasan | Be the First to Comment

Resensi Perjalanan ke Atap Dunia | #43

Oleh Ani Andriyanti

Dari dulu, saya sangat menyukai buku-buku traveling. Dalam bentuk apapun. Padahal saya hampir jarang banget treveling euy #curhat. Entahlah, rasanya ikut menikmati perjalanan demi perjalanan yang dirasakan orang lain. Apalagi kalau pemaparannya baguuus, membawa kita ke dalamnya, seperti buku ini.

Ya, saya mengenal buku ini dari senior kantor. Katanya buku ini bagus. Jadilah penasaran saya baca. Dari awal membaca buku ini, saya langsung sukaaak #pake “k” pula ya sukanya. Bang Daniel membuat buku ini untuk orang-orang yang berani memperjuangkan mimpi masa kecilnya loh. Langsung deh ngaca, apakah kita sudah berjuang untuk mewujudkan mimpi? Atau membiarkannya saja bersemayam di angan-angan, menunggu Tuhan menjawab dan pasrah?

Adalah Bang Daniel (saya sebut “Bang” saja deh), dari kecil sudah berkeinginan pergi ke negeri atap dunia, Tibet. Berkali-kali membaca komik Tintin di Tibet,berkali-kali menonton film Seven Years in Tibet, dan terus saja bertanya-tanya: apakah mungkin dia bisa pergi ke Tibet?

“Beberapa kali pernah kutulis di dalam blog pribadiku tentang keinginanku pergi ke Tibet. Tetapi kapan? Aku tak pernah bisa menjawabnya. Kuinsafi: keinginan mengunjungi Tibet ternyata hanya angan. Bukan sesuatu yang konkret. Adalah betul aku pernah menuliskannya. Artinya, tidak semata angan yang mencelat melalui lisan. Tetapi sudah kutuliskan. Namun tetap saja: meski sudah pernah ditulis, semua itu tanpa pengejawantahan.”

Bang Daniel mengajarkan banyak hal di sini. Meraih mimpi itu terkadang harus menghadapi tantangan demi tantangan, tidak melulu berjalan mulus bak jalan tol. Begitupun dengan Bang Daniel dalam mempersiapkan perjalanannya ke Cina ini. Ah, saya seperti turut serta dalam perjalanan ini. Memelototin harga pesawat tiap waktu untuk mendapatkan harga yang murah, tidur di bandara, berhari-hari di kereta menuju Lhasa. Semua saya rasakan pokoknya.

Tapi tapi tapi, bukan yang indah indah aja loh baca buku ini. Saya sempat kecewa, tau kenapa? Ah, ekspektasiku terhadap Tibet tinggi sekali sebelumnya. Sama seperti tweet saya ke Bang Daniel “saya tidak pernah menyangka bahwa Tibet akan seperti apa yang anda gambarkan di buku ini.” Dan jawaban Bang Daniel “Apa boleh buat: tak selamanya impian berbanding lurus dgn kenyataan. Tetapi untuk mengetahui hal itu, kita harus membuktikan.” seperti apa itu? tentu anda semua harus membaca buku ini!!!

Ketika keinginan telah tercapai dan kita telah berada di sana, semua menjadi selesai dan berhenti seketika. Terkadang proses untuk mencapai sesuatu acap kali jauh lebih bermakna ketimbang tujuan itu sendiri. – hal 114

Hal yang paling saya suka adalah melihat gugusan Himalaya yang dipenuhi salju. Ah, tampaknya awesome sekaliiii #ngebayangin terus mupeeeng.

Oiya, ada satu lagi yang ku suka. Bertemu dengan orang-orang baru tampaknya menyenangkan sekali. Seperti bertemu saudara sendiri. Seperti hal nya ketika Bang Daniel bertemu dengan Juan, si pemuda dari Amerika Latin. Juan yang seorang perokok berat bisa benar-benar stop menjadi perokok, padahal mungkin semua orang tau bahwa dalam praktiknya berhenti merokok itu tidak semudah yang dibayangkan #konon. Dan Bang Daniel pun menanyakan itu karena dia juga seorang perokok. Kata Juan,

“Aku tahu. Memang nggak mudah. Berat. Sangat berat. Tapi ketika kita konsekuen dengan keputusan kita, segalanya bisa kalo kita mau. Yang kita butuhkan hanya keberanian kok.”

Ah, andai banyak orang yang bisa berpikir seperti ini, mungkin saya tak akan pernah sesak napas di bis yang penuh asap rokok #curhat

Itu hanya salah satu dari sekian banyak hal menarik di buku ini. Well, silahkan baca sendiri buku ini. Cina, Tibet, Nepal dan saatnya kini kita pulang ke Tanah air tercinta.

“Masa muda, Daniel. Masa muda. Memang seharusnya begitu. Pergilah kemanapun kakimu melangkah. Itu akan menmpamu. Memperkaya pengalaman batinmu. Tetapi pada saatnya tiba jadilah laki-laki yang merasa cukup dengan keluarga di rumah… Kelak istri dan anak-anakmu di rumah adalah harta sebesar-besarnya yang kamu miliki”.

_________________________________

* Pembaca, tinggal di Pasuruan, Jawa Timur.

Tulisan ini dimuat di sini tak lain sekadar usaha pendokumentasian. Versi asli dari tulisan ini ada di bagianperjalanan.wordpress.com dan di goodreads.com [Rabu, 12 Juni 2013].

Comments are closed.