Niskala [04]

Posted by penganyamkata on May 12, 2014 under Ulasan | Be the First to Comment

Resensi Novel Niskala | #11

Oleh Ismi Islamia Fathurrahmi

Apa yang biasanya diharapkan dari sebuah buku tentang travelling? Apakah panduan perjalanan beserta ongkos biayanya? Ataukah pengalaman perjalanan dari traveler itu? Atau hal menarik lainnya dari sebuah perjalanan? Jawabannya bisa lebih dari kemungkinan jawaban yang saya ajukan.

Tapi sepanjang saya berdiskusi buku, serta membaca goodreads ataupun blog yang mengulas tentang buku travelling, kebanyakan memang karena ingin mengharapkan ikut merasakan perjalanan serupa. Jadi, mereka membaca kemudian ingin mencobanya juga.

Nah bisa jadi mereka yang berharap begitu, akan kecewa kalau membaca buku Daniel Mahendra terbaru yang berjudul Niskala ini. Yap, judul pendeknya memang sama dengan judul novel epik “Niskala”-nya Hermawan Aksan. Tapi, judul lengkapnya buku Daniel Mahendra ini Niskala: Kisah tentang Cinta, Keyakinan, dan Perjalanan Keliling Dunia. Mengapa penggemar buku-buku perjalanan akan kecewa? Karena memang di buku ini porsi perjalanan hanya 1/3. Karena sesuai dengan judul besarnya ini adalah buku tentang cinta, agama/keyakinan dan perjalanan. Jadi semuanya mendapatkan porsi yang sama.

Bagi saya sendiri yang menyukai buku-buku yang mengajak berpikir, buku ini justru adalah sebuah hal baru. Awalnya saya mengira ini adalah fiksionalisasi dari catatan perjalanan ke Tibetnya Daniel, karena kalau buku “Perjalanan ke Atap Dunia”-nya adalah memoar cerita asli maka saya pikir ketika Mas Daniel menerbitkan Niskala mungkin lebih berbumbu dan lebih mengasyikkan. Ternyata saya salah. Tapi, salah yang mengenakkan karena saya justru mendapat hal-hal baru ketika penulis buku ini memasukkan pemaknaan atas keyakinan keberagamaan, menuliskan tentang perjuangan percintaan.

Maka ketika di halaman 144 Sanggita berkata, “Kita bisa saja rajin ke masjid, tak pernah absen ke gereja, selalu ke pura dan wihara, tetapi siapa yang bisa mengukur kekhidmatan kita kepada Tuhan, selain Tuhan sendiri?” Saya langsung berhenti sejenak untuk merenung dalam-dalam apalagi kondisi di beberapa belahan dunia serta Indonesia sendiri sedang konflik saat saya membaca kata-kata itu. Belum lagi diskusi-diskusi saya dengan seorang teman yang kebetulan juga menganut ajaran yang sama seperti keluarga Sanggita.

*walaupun mas Daniel menyamarkannya menjadi ajaran Sahitya nampaknya saya tau mengenai ajaran apa Sahitya itu karena setelah saya google Sahitya rujukannya malah ke sebuah Universitas, hehehe*

Satu lagi yang membuat saya asyik membaca buku ini adalah penulisnya tidak menggunakan kata-kata biasa, tetapi, kata-kata yang jarang digunakan seperti, “guyub”, “menganyam kata”, “tenggang meja” menambah kosakata bahasa Indonesia yang seharusnya digunakan alih-alih menyerap bahasa asing.

Mas Daniel juga berhasil membawa saya terleka dalam pikiran kekalutan Galang sebagai pria dewasa. Kadang saya merasa Galang ini kok cemen banget jadi cowok, tapi kadang kasihan juga dan merasa empati.

Oh ya, tentang perjalanan sendiri di novel ini dituliskan di bagian awal ketika Galang menderita Accute Mountain Sickness di  Everest Base Camp,Tibet, kemudian di pertengahan saat Galang melakukan perjalanan bersama Sanggita ke Gunung Padang dan perjalanan kekalutan ke Rinjani dan di akhir ketika akan turun usai AMS Galang mereda. Dalam bagian-bagian ini Daniel cukup detail memberikan pendeskripsian jika ada yang hendak melakukan perjalanan sejenis.

Terakhir, entah, kenapa kata-kata “Pulang” seperti menjadi tema beberapa penulis tahun ini dimulai dari Leila S. Chudori yang secara gamblang bahkan menerbitkan novel berjudul “Pulang” kemudian Agustinus Wibowo yang juga travel writer menulis “Titik Nol” yang isinya juga tentang memaknai kembali perjalanan untuk sekadar pulang dan terakhir Daniel Mahendra “Niskala” dengan kutipan “Pulang adalah kata paling indah yang dimiliki seorang petualang ketika ia telah tahu jalan menuju pulang.”

Tapi, seperti yang Mas Daniel bilang melalui tokoh Galang ke editornya, buku ini bisa jadi adalah sebuah buku genre baru dalam khazanah literatur Indonesia.

_________________________________

* Pembaca, tinggal di Palembang, Sumatera Selatan.

Tulisan ini dimuat di sini tak lain sekadar usaha pendokumentasian. Versi asli dari tulisan ini ada di ismimiitsme.blogspot.com [Mei 2014].

Comments are closed.