Kisah Berengsek Penulis Platonik

Posted by penganyamkata on August 19, 2016 under Ulasan | Be the First to Comment

Ulasan Novel Pseudonim | #02

Mulya Saadi
Pembaca, tinggal di Yogyakarta

Penulis: Daniel Mahendra
Genre: Fiksi / SLice of Life
Penerbit: Grasindo
Cetakan: Pertama, Juli 2016
Halaman: 266 hlm
Ukuran: 978-602-375-596-7

Pesimisme Pra  akan karir menulisnya yang begitu-begitu saja makin menjadi ketika ia dihadapkan pada kondisi keuangan yang kembang kempis. Ia mulai sentimen dengan dunia pernovelan, dunia yang selama ini  ia geluti. Tak ada perubahan dalam kemapanan finansialnya. Begitu saja. Stagnan. Semua royalti itu entah lari kemana. Bisa makan hari ini saja masih untung.

Sementara pesimisme Pra makin mengakar, sahabatnya justru terus mengompori Pra untuk membuat novel.

“…sastra, tetap tumbuh dalam keindahan yang hakiki. Bukan kebetulan nongol lewat ajang penghargaan, cetak ulang berkali-kali, atau riuh sosial media yang narsisme. Karena karya sastra nggak bisa diapresiasi dengan uang, penghargaan, ataupun popularitas”—hlm. 10

Seolah melengkapi kekesalan, Pra pun harus menanggung beban mental di kalangan keluarganya sendiri yang meragukan profesinya. Hidup sebagai penulis sama artinya membuka kemungkinan dituduh sebagai pengangguran! Bekerja di tempat yang tak terlihat dan di waktu yang tak umum. Penulis hanya mendekam dalam kamar sembari bergelut dengan tulisannya, kemudian mengirim ke media tapi belum tentu diterbitkan. Kisah cinta pun menjadi satu-satunya pelipur lara yang digemari. Pra menemui pacar-pacarnya—iya, pacar-pacarnya!—untuk sekedar refreshing.

Beringsut dari kemelaratannya, akhirnya Pra mendapat tawaran pekerjaan kecil-kecilan dari seorang kawan lama. Kondisi finansialnya mulai membaik. Kepercayaan keluarganya mulai tumbuh. Namun, Pra itu pemain cinta. Uang yang akhirnya terkumpul, malah ia gunakan untuk melanglang buana ke berbagai daerah menemui pacar-pacarnya.

Hingga melarat kembali menjelang, Pra benar-benar kikuk untuk melangsungkan kehidupan. Pekerjaan satu-satunya yang ditawarkan temannya tiba-tiba putus di tengah jalan sementara uang-uangnya ludes. Gundah bertambah akan isyarat serius pacar-pacarnya yang ingin segera dinikahi. Tak tahan, Pra pun lari menjauh untuk mengindari tanggung jawab “permainannya”. Pra  mendatangi  Saefulah, kawan SMA nya yang religius untuk sekedar curhat.

“Hormati diri kamu. Beri harga yang pantas untuk diri kamu. Mulai benahi hidup kamu. Perbaiki hubunganmu dengan keluargamu. Perbaiki hubunganmu dengan orang lain. Percaya deh, kamu akan takjub, tiba-tiba rezekimu akan berangsur –angsur membaik”—hlm. 122

Tak dinyana, Pra kembali mendapatkan pekerjaan penulisan. Namun kali ini ia harus bergelut dengan dunia yang sama sekali baru dan tak pernah ia kira. Ditambah ia harus mengubur idealisme menulisnya dan menyesuaikan dengan realitas bisnis. Sungguh pekerjaan yang mengusik nurani. Namun, ia tak tahan hidup melarat dan akhirnya uang yang angkat bicara. Syarat yang harus ditaati Pra hanya satu : menjadi pseudonim.

Asyik bergelut dengan dunia baru itu, Pra melupakan karir novelnya. Kendati harus bekerja seperti mesin, Pra tidak peduli. Toh ia dapat uang. Hidupnya kini tidak lagi tergantung pada diterima tidaknya naskah tulisan yang ia kirim ke media atau royalti yang tak seberapa itu. Hingga pertemuan dengan seorang perempuan cantik di apartemennya, ia kembali gamang. Pasalnya perempuan itu hanya mau dinikahi dengan mas kawin sebuah novel! Apakah Pra menerima syarat itu?

Melaui novel ini, Daniel Mahendra begitu cerdas meramu kata dan menyajikan berbagai “fakta” memilukan dunia perbukuan. Mulai dari royalti, hak penerbitan, pajak, hingga mutu sastra negeri ini ia paparkan melalui penuturan pesimis Pra. Sungguh menjadi refleksi tersendiri bagi kalangan penulis maupun penikmat karya sastra. Selain menyinggung industri perbukuan, penulis juga cukup apik menggambarkan wajah sinetron dewasa ini. Lagi-lagi “fakta” memilukan bisnis hiburan ini dikemas melalui penuturan Pra yang khas dengan aura pesimismenya.

Disini pembaca diajak menengok satu dari sekian ragam “nasib” kehidupan seorang penulis dalam negeri. Sialnya, “nasib” itu (Pra) terlalu berengsek untuk dijadikan kisah inspiratif. Penulis justru menyajikan dunia ketidakpastian dan pesimisme, alih-alih mengeksplorasi daya juang tokoh utama. Main perempuan, filosofi hidup yang kacau, kemalasan dan pelarian. Namun mestinya tak usah khawatir. Kisah ini merupakan bagian dari drama kehidupan kita dan gambaran realitas yang dapat dicecapi manis-pahitnya. Kiranya kita dapat mendulang hikmah dari sudut pandang yang tak biasa.

________________________________

Tulisan ini dimuat di sini tak lain sekadar usaha pendokumentasian. Versi asli dari tulisan ini ada di mulyasaadi.wordpress.com [15 Agustus 2016].

Comments are closed.